[ Sebelumnya saya ingatin, artikel dalam blog ini lebih saya prioritaskan kepada teman-teman pembaca yang masih pemula dalam bidang ini, dengan harapan bisa jadi motivasi dan tambahan wawasan bagi pembaca yang ingin bergerak di badang ini. Bagi rekan-rekan senior yang udah pro dan mau bertanya atau mengomentari, kita bahas di tempat terpisah ya (via email atau Buku Tamu blog ini), biar yang masih awam ga terlalu bingung
Thanx ]
Setelah melihat hasil video karya kami; Multicom production; banyak yang bertanya pada saya perihal software yang kami pakai. Sebenarnya saya jenuh mendengar pertanyaan seperti ini, sama halnya kalau orang menanyakan tentang software apa yang saya pakai di rekamanJ
Tapi saya coba aja jawab untuk semua yang membaca artikel ini, siapa tau Anda yang membaca ini juga punya pertanyaan atau ingin menambah wawasan tentang video editing. Saya hanya bahas mengenai software, bukan hardware-nya.
Untuk video editing kami sebenarnya pakai banyak software tergantung kebutuhan dan fungsinya, misal untuk compositing kami lebih sering menggunakan Adobe After Effect 6.5, untuk 3D, kami lebih sering menggunakan 3Dmax, sedangkan platform untuk editing kami menggunakan Adobe Premiere 6.5 dan Sony Vegas 6a, dan masih banyak lagi software dan plugin pendukung lain yang saya gunakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya.
Saya sendiri sudah mencoba menggunakan dan mendalami berbagai macam software video editing, mulai dari Ulead Video Studio, Ulead Media Studio, Pinnacle, Edius, Sony Vegas, Adobe Premiere, Avid (Mac). Dan setelah saya membuka home studio ini, dari beberapa software yang telah pernah saya pakai, saya akhirnya memilih Sony Vegas 6a dan Adobe Premiere 6.5. Alasannya :
- Customable.
- Tidak terlalu butuh komputer dan hardware pendukung berspesifikasi khusus seperti Avid dan Edius.
- Sebagian besar fungsi dan cara kerjanya sudah saya kuasai.
Kira-kira cuma itu alasan saya J
Banyak yang bertanya kepada saya ketika berdiskusi tentang software yang saya pakai, terlebih bagi teman-teman yang belum pernah menggunakan kedua software tersebut, biasanya ada dua pertanyaan :
- Jumlah dan model transisi preset
- Variasi video filter khususnya fitur PiP (Picture in Picture)
Bagi saya pribadi, walaupun pernah, tapi saya paling jarang menggunakan transisi, PiP, filter preset/bawaan dari software tersebut. 80% filter dan PiP yang saya gunakan dalam video clip sebuah album, umumnya hasil kreasi saya sendiri, minimal ubah sedikit setting presetnya. Itulah asiknya menggunakan software yang customable, semuanya bisa kita kreasikan sendiri, tergantung keahlian dan kemampuan imajinasi kita aja.
Tapi banyak juga yang bertanya, kenapa kualitas video khususnya video pada VCD lagu daerah yang kami tangani, relatif sedikit lebih bersih/clean dibanding hasil dari (maaf) beberapa studio lain di daerah kami, padahal menggunakan kamera, alat & software yang relatif sama? Kami menggunakan Panasonic MD-10000. Untuk orang yang awam di dunia videography, photography atau yang ga pernah utak-atik software editing, jarang sekali saya jawab tentang ini, karena pasti akan membingungkan bagi orang tersebut mendengar istilah-istilah teknis J
Mungkin sebaiknya di bahas mulai dari awal gambar diambil sampai berbentuk VCD :
1. Kualitas gambar/video sedikitnya dipengaruhi oleh kualitas kamera, pencahayaan, teknik pengambilan gambar dan objek.
Kalau bicara tentang kamera yang baik, tidak akan ada habisnya J karena teknologi semakin maju dan berkembang.
Permasalahan pencahayaan menjadi salah satu yang menarik bagi saya pribadi, terlebih video outdoor yang bergantung pada cahaya matahari tanpa perangkat lighting tambahan. Beberapa kali saya temui, artis yang akan diambil gambarnya sudah pernah beberapa kali rekaman di studio lain, dan pada saat pengambilan gambar biasanya mereka akan mulai pada sekitar pukul 6 pagi sampai 10 pagi, lalu dilanjutkan pukul 3 sore sampai 6 sore. Ini bukan karena pembagian shiftnya begitu, tapi karena menghindari cahaya terik matahari. Alasannya kurang lebih, apabila mengambil gambar di luar jam itu, mereka memastikan bahwa hasil vcd nantinya akan di “hiasi” noise atau flicker, atau bisa disebut ghost fx. Lah, saya bingung, koq begitu? J apalagi saat saya pertama menggunakan MD-9000 ini, yang mana rekan-rekan di studio lain juga menggunakan MD9000 atau 3 CCD MD10000. Sebelumnya di awal-awal saya akrab dengan dunia video, saya lebih sering menggunakan camcorder sekelas Panasonic AV, Canon XL dan beberapa tipe kamera VHS, saya memutuskan berinvestasi dengan MD9000 ini ketimbang MD10000, karena di daerah kami, rata-rata menggunakan merek ini dan setelah saya tinjau dengan kemampuan daya beli pengguna jasa, memang tipe ini yang saya rasa cukup cocok, dan kenapa MD 9000 daripada MD 10000, karena saya menganggap 3CCD MD10000 nyaris tidak ada fungsinya, terkesan tambahan tulisan 3CCD tersebut cuma untuk menaikkan pamor dan harga camcorder tersebut. karena saya ga merasakan atau melihat fungsi 3CCD di tipe tersebut berfungsi sebagaimana layaknya yang disebut 3CCDJ (maaf, bukan menjelekkan, tapi saya memberi pandangan objektif).
Setelah sedikit bingung dengan pendapat menghindari cahaya matahari itu, sedikit bercanda saya bilang sama artis tersebut : “misal, kalau ada objek sangat bagus yang ditemukan pada siang hari jam 12.00 – 14.00, dan hanya ada di jam itu aja, lalu sepertinya layak dan harus dijadikan visual album kamu, apakah ga akan kita ambil gambarnya????” si artis bingung J
Jadi sebenarnya, berbagai teknik mengambil gambar selalu ada tergantung situasi dan kondisi. Baik kondisi cahaya, background, kualitas camcorder, dan objek yang akan di ambil gambarnya, semua harus ada jalan keluarnya. Untuk permasalahan cahaya ini, saya paling jarang ambil pusing, karena faktor jadwal, tapi tidak terlepas saya tetap akan berusaha memberikan hasil gambar yang terbaik. Terkadang ketika telah sampai di lokasi yang di minta oleh klien, berbagai kendala cuaca dan cahaya sering ditemukan. Kalau jarakanya dekat dengan studio ya ga apa-apa, tapi kalau jaraknya relatif jauh, wah merepotkan sekali mengingat jumlah peralatan yang dibawa. Dan mau ga mau, pengambilan gambar tetap dilakukan, mengingat deadline waktu kontrak kerjasama dan kontrak lain yang telah menunggu jadwal. Oleh karena itu, jika mengandalkan cahaya natural dari lokasi tersebut, posisi kamera dan objek di atur sedemikian rupa. Jika dirasa kurang atau memang dibutuhkan perangkat tambahan, umumnya kami menambahkan seperti reflektor, white board, dan beberapa lampu. Dispersi lampu/cahaya disesuaikan dengan tujuan gambar yang ingin diambil. Sedangkan tata rias objek/artist yang ingin diambil gambarnya kami serahkan kepada make up artist yang telah disediakan oleh klien kami. Selama pengalaman saya bekerja dengan penata rias/make up artis, saya cukup nyaman bekerja sama dengan Prety salon-Kerinci pada album Uris Musik. Karena penata rias cukup mengerti setiap maksud kami terhadap tata rias si artis, misal jika setelah melihat kondisi lokasi, cahaya, latar belakang dan tujuan gambar yang ingin diambil, saya tinggal menyebutkan “tone minus satu atau plus satu”, mereka sudah mengerti tata rias untuk si artist yang saya maksudkan. Atau jika istilah detail make up sudah diluar kata-kata yang saya ingat, saya cukup menunjukkan contoh gambar yang diambil pada lokasi tersebut melalui media LCD camcorder atau tv monitor, dan dengan sigap mereka langsung bekerja dan hasil yang diberikan cukup memuaskan sesuai dengan tujuan gambar yang kami inginkan.
2. Setelah pengambilan gambar, dilakukan proses editing yang meliputi digitize/capture. Capture adalah memindahkan/merubah data dari media tape/kaset kamera ke hardisk komputer. Capture dilakukan via hardware seperti capture card, USB, atau Firewire. Dan saat ini telah berkembang teknologi media penyimpanan camcorder menggunakan hardisk tersendiri atau memory card.
3. Setelah capture baru memasuki tahap editing yang meliputi synchronize, cut, menambahkan berbagai efek, penyesuaian warna/RGB, dan banyak hal yang dilakukan dalam proses editing ini. Dan di proses editing inilah ibarat dapur yang meracik seluruh “bumbu” dan “bahan mentah” yang di dapat dari camcorder. Disinilah peran software editing bekerja. Fitur yang disediakan oleh sofware tidak akan ada apa-apanya jika sang editor sendiri tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang gambar, video, warna, imajinasi dan kreatifitas. Bagi saya sendiri jika melakukan proses editing, saya lebih banyak menggunakan prinsip pandangan sebagai penonton biasa atau awam, baik dalam penggunaan transisi, timing text/image, warna dll. Jadi semenjak editing ini saya sudah membayangkan bahwa ini untuk penonton yang awam tentang editing. Canggih, hebat, penuh transisi, compositing terlalu hebat, merupakan prioritas saya yang kesekian. Karena dalam konteks kami yang bekerja dalam video clip lagu daerah, kenyamanan dan kepuasan penonton yang masih awam adalah prioritas kami yang pertama.
Proses editing ini sangat membantu apabila dilengkapi hardware pendukung seperti editing card yang mumpuni, karena selain tidak memberatkan procesor komputer, cukup banyak fitur dan hasil plus yang diberikan oleh hardware ini. Dan hasilnya bisa jauh lebih baik dibanding hanya mengandalkan perangkat komputer standart. Tapi tetap intinya adalah sang editor sendiri, jika sang editor memang handal, apapun “senjata” (hardware & software) yang digunakan tetap akan memberikan hasil yang terbaik. Jadi jangan pernah terlalu membanggakan atau terlalu mengandalkan merk atau tipe sebuah software atau hardware, tetapi terlebih dahulu bekali diri dengan ilmu pengetahuan videography, baru jejali setiap sofware yang ada agar dapat menemukan sofware yang paling nyaman dan dapat memenuhi kebutuhan pekerjaan anda. Jangan terbuai dengan promosi sebuah merk atau isu bahwa software A yang paling baik dari software lain.
Inilah alasan kenapa saya tidak pernah fanatis dengan sebuah sofware editing karena editor adalah yang paling berperan dalam mengoperasikan sebuah software. Kalau ada vcd lagu daerah manapun yang saya tonton, pertama kali saya akan lihat struktur editingnya,penyajian gambar, penggunaan transisi dan filter (saya lebih menyukai yang custom/hasil kreatifitas sang editor), jika ini saja sudah menarik perhatian saya walaupun output gambar terakhir pecah-pecah(flicker) dipenuhi noise, saya tidak terlalu pusing karena saya lebih apresiatif terhadap kreatifitas si editor.
4. Rendering
Proses terakhir sebuah video terletak di rendering, disinilah yang paling menentukan hasil akhir output gambar. Pada rendering ini kita menentukan akan dijadikan format apa video tersebut. sekedar informasi, format video sangat beragam mulai dari untuk layar lebar sampai format untuk mobile phone. Untuk format video yang umum di Indonesia adalah :
VCD PAL aspect ratio : 352 X 288, 25fps – Audio : 224Kbps 44.1KHz
DVD PAL aspect ratio : 720 X 576, 25fps – Audio : 224Kbps 48 KHz
Dua detail di atas sudah bisa menjawab pertanyaan yang sering saya dapat, kenapa DVD lebih bersih dibanding VCD, salah satu alasannya ada di perbedaan aspect ratio yang hampir relatif dua kali lipat. Rendering bisa dilakukan dengan fasilitas yang telah disediakan oleh software ataupun bisa juga menggunakan software/hardware lain.
Cara rendering, baik “ramuan”, sofware, hardware yang digunakan inilah yang nyaris menjadi “rahasia” setiap studio/video editor. Karena untuk setting rendering yang meliputi Quantize Matrix, filtering, GOP,dll bisa beragam di setiap studio video dan pabrik replika.
Jadi, gambar yang baik tidak semata-mata didasari oleh software editing, tetapi diawali dengan pengambilan gambar yang baik dan benar, kemampuan editor dalam mengoptimalkan software/ hardware editing, dan rendering yang tepat.
Jangan pernah terpaku dengan sebuah sotware, karena software hanya sebuah senjata yang tidak akan berfungsi dengan baik kalau pengguna senjata tersebut tidak punya keahlian menggunakan senjata tersebut.
“Teknologi harus mempermudah pekerjaan, bukan menambah pusing kepala dan membuang waktu”
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua.
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
0 Response to "TIPs Dunia Shooting"
Posting Komentar